Sya’ban dari kata Sya’bun (Arab: شعب), yang berarti kelompok atau golongan. Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan ini, masyarakat jahiliyah berpencar mencari air.
Ada juga yang mengatakan, mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan. (Lisanul Arab, kata: شعب). Al-Munawi mengatakan, “Bulan Rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan mulia, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan Sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” (At-Tauqif a’laa Muhimmatit Ta’arif, Hal. 431)
bisa juga bulan Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadlan. Siapa yang berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadlan.
Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang banyak (yatasya’abu minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata Syi’b, yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan.
• Dalam bulan ini terdapat banyak kejadian dan peristiwa yang patut memperoleh perhatian dari kalangan kaum muslimin.
Sya’ban, Bulan Al Quran
Bulan Sya’ban dinamakan juga bulan Al Quran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa atsar. Memang membaca Al Quran selalu dianjurkan di setiap saat dan di mana pun tempatnya, namun ada saat-saat tertentu pembacaan Al Quran itu lebih dianjurkan seperti di bulan Ramadhan dan Sya’ban, atau di tempat-tempat khusus seperti Mekah, Roudloh dan lain sebagainya.
Syeh Ibn Rajab al Hambali meriwayatkan dari Anas, “Kaum muslimin ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka menekuni pembacaan ayat-ayat Al Quran dan mengeluarkan zakat untuk membantu orang-orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Turun Ayat Sholawat Nabi
Salah satu keutamaan bulan Sya’ban adalah diturunkannya ayat tentang anjuran membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu alaihi wasallam pada bulan ini, yaitu ayat: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab;56)
Diangkatnya Amal Manusia
Salah satu keistimewaan bulan Sya’ban adalah diangkatnya amal-amal manusia pada bulan ini ke langit. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya menyukai amal saya diangkat, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i).
Pindah Qiblat
Pada bulan Sya’ban, Qiblat berpindah dari Baitul Maqdis, Palistina ke Ka’bah, Mekah al Mukarromah. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam menanti-nanti datangnya peristiwa ini dengan harapan yang sangat tinggi. Setiap hari Beliau tidak lupa menengadahkan wajahnya ke langit, menanti datangnya wahyu dari Rabbnya. Sampai akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan penantiannya. Wahyu Allah Subhanahu Wata’ala turun. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah; 144)
diatas merupakan kilas balik peristiwa yang terjadi pada bulan sya'ban
MALAM NISFU SYA'BAN
terlepas dari pro kontra keutamaan malam nisfu sya'ban mati kita kutip sabda nabi
Nabi SAW. bersabda : “Bahwa Rajab itu bulan Allah, Sya’ban bulanKu dan Ramadhan adalah bulan ummat-Ku”.
Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah yaitu malam Nishfu Sya’ban. Di malam ini Allah Subhanahu wata’ala mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rizki dan amal manusia.
Banyak Hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dlo’if (lemah), namun Al Hafidh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian Hadits-Hadits tersebut, di antaranya adalah: “Nabi Muhammad Shollallhu alaihi wasallam bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Berikut kutipan yang menganggap malam nisfu sya'ban adalah bida'ah dholalah
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya) :
"Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu ".
(QS. Al Maidah : 3).
Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya):
"Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak ". (HR. Bukhari Muslim)
dalam riwayat Muslim (yang artinya):
"Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak".
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang semuanya menunjukan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka. Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali setelah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan.
Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan ataupun perbuatan, semuanya bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita dari padanya. Hal ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah seperti Ibnu Wadhah dan Abi Syamah dan lainnya.
Diantara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam nisyfu sya'ban dan mengkhususkan hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, memang ada beberapa hadits yang menegaskan keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang menegaskan keutamaan shalat pada hari tersebut adalah maudhu' (palsu).
A1 Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif ' mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya'ban adalah bid'ah dan hadits-¬hadits yang menerangkan keutamaannya adalah lemah.
Imam Abu Bakar At Turthusi berkata dalam bukunya `alhawadits walbida' : "Diriwayatkan dari wadhoh dari Zaid bin Aslam berkata :"kami belun pernah melihat seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan nisyfu sya'ban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam¬-malam lainnya".
Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata:
"Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya'ban menyamai pahala lailatul qadar.
bnu Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang penceramah.
Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, fawaidul majmuah, sebagai berikut : Hadits : "Wahai Ali barang siapa melakukan shalat pada malam nisyfu sya'ban sebanyak seratus rakaat : ia membaca setiap rakaat Al Fatihah dan Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala .... dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu', pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ' dan perawi¬-perawinya majhul.
Dalam kitab "Al-Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : "Hadits yang menerangkan shalat nisfu sya'ban adalah batil" .
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali : "...Jika datang malam nisfu sya'ban bershalat malamlah dan berpusalah pada siang harinya". Inipun adalah hadits yang dhaif.
Dalam buku Al-Ala'i diriwayatkan :
"Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat". Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho'if.
Imam Syaukani berkata : "Hadits yang menerangkan bahwa dua belas raka' at dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas raka'at ....dst adalah maudhu".
Para fuqoha' banyak yang tertipu oleh hadits-¬hadits maudhu' diatas seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan sebagian ahli tafsir. Telah diriwayatkan bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisfu sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak benar) dan haditsnya adalah maudhu'.
Al-Hafidh Al-Iraqy berkata : "Hadits yang menerangkan tentang sholat nisfu sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullallah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi berkata :"Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha'ib berjumlah dua belas raka'at dikerjakan antara maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka'at pada malam nisfu sya'ban, dua sholat ini adalah bid'ah dan mungkar.
Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua hadits tersebut hanya karena telah disebutkan didalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin, sebab pada dasarnya hadits-haduts tersebut bathil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits yaitu dari kalangan a'immah yang kemudian mengarang lembaran-¬lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma' il Al-Maqdisy telah mengarang suatu buku yang berharga; beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas.
Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya' ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya degan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya didalam syari'at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an dibawah ini (yang artinya):
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu".
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat diatas. Selanjutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
"Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak". (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya):
"Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jum 'at dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika sebelum hari itu telah berpuasa" (HR. Muslim).
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukankah malam jum'at itu lebih baik dari pada malam-malam lainnya, karena hari jum'at adalah hari yang terbaik yang disinari oleh matahari ? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih.
Tatkala Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini menunjukkan malam yang lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang mengkhususkannya.
Manakala malam lailatul Qadar dan malam¬-malam bulan puasa itu disyari'atkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada ummatnya agar supaya melaksanakan¬nya, beliaupun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan didalam hadits yang shohih (yang artinya):
"Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat" (Muttafaqun 'alahi).
Jika seandainya malam nisfu sya'ban, malam jum'at pertama pada bulan rajab, serta malam isra' mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam menjelaskan kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia clan yang paling banyak memberi nasehat setelah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisfu sya'ban dan malam jum'at pertama pada bulan Rajab.
Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bidah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tertentu adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
Dan berikut merupakan riwayat & hadist yg menguatkan keutamaan malam nifsu sya'ban &
Keutamaan Puasa di Bulan Sya’ban
Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat, “Adakah puasa yang paling utama setelah Ramadlan?” Rasulullah Shollallahu alai wasallam menjawab, “Puasa bulan Sya’ban karena berkat keagungan bulan Ramadhan.” Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Sepintas dari teks Hadits di atas, puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) lainnya. Padahal Abu Hurairah telah menceritakan sabda dari Rasulullah Shollallu alaihi wasallam, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan mulia (asyhurul hurum).” Menurut Imam Nawawi, hal ini terjadi karena keutamaan puasa pada bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) itu baru diketahui oleh Rasulullah di akhir hayatnya sebelum sempat beliau menjalaninya, atau pada saat itu beliau dalam keadaan udzur (tidak bisa melaksanakannya) karena bepergian atau sakit.
Rasulullah telah memerintahkan untuk memperhatikan malam Nisyfi Sya’ban, dan bobot berkahnya beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali Rodliallahu anhu, Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika tiba malam Nisyfi Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu Majah)
Malam Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam mengatakan, “Doa adalah senjatanya seorang mukmin, tiyangnya agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim). Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa -selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah Subhanahu wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).
Tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa yang khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.
Sesungguhnya Rasulullah Shollallu alaihi wasallam mengkhususkan bulan Sya’ban dengan puasa itu adalah untuk mengagungkan bulan Ramadhan. Menjalankan puasa bulan Sya’ban itu tak ubahnya seperti menjalankan sholat sunat rawatib sebelum sholat maktubah. Jadi dengan demikian, puasa Sya’ban adalah sebagai media berlatih sebelum menjalankan puasa Ramadhan.
Adapun berpuasa hanya pada separuh kedua bulan Sya’ban itu tidak diperkenankan, kecuali:
1. Menyambungkan puasa separuh kedua bulan Sya’ban dengan separuh pertama.
2. Sudah menjadi kebiasaan.
3. Puasa qodlo.
4. Menjalankan nadzar.
5. Tidak melemahkan semangat puasa bulan Ramadhan.
Para ulama menamai malam Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan kemuliaan malam tersebut.
1. Lailatul Mubarokah (malam yang penuh berkah).
2. Lailatul Qismah (malam pembagian rizki).
3. Lailatut Takfir (malam peleburan dosa).
4. Lailatul Ijabah (malam dikabulkannya doa)
5. Lailatul Hayah walailatu ‘Idil Malaikah (malam hari rayanya malaikat).
6. Lalilatus Syafa’ah (malam syafa’at)
7. Lailatul Baro’ah (malam pembebasan). Dan masih banyak nama-nama yang lain.
PRO KONTRA TENTANG KEUTAMAAN BULAN & MALAM NISFU SYA'BAN
Al Hafidh Ibn Rojab al Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan, “Kebanyakan ulama Hadits menilai bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya’ban masuk kategori Hadits dlo’if (lemah), namun Ibn Hibban menilai sebagaian Hadits itu shohih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.” Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Addurrul Mandlud mengatakan, “Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits dlo’if untuk keutamaan amal (fadlo’ilul amal), bukan untuk menentukan hukum, selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu dlo’if (sangat lemah).” Jadi, meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebut dlo’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalam di malam Nishfu Sya’ban.
Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan pengertian bid’ah secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).
Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan dengan sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.”
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.
Syeh Ibnu Taimiyah berkata, “Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah.
Walhasil, sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah pada malam itu dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain.
demikian adalah kutipan resensi tentang keistimewaan bulan & malam nisfu sya'ban, dari semua itu penulis sendiri berpendapat selagi tidak menyekutukan Alloh sebuah bidah tidak bisa langsung di vonis sebagai sesuatu yg buruk karena menurut penulis sendiri ada juga bidah yg hasanah sebagai contoh
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan kitab Alqur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok agama Islam karena kedua kitab tersebut (Alqur’an dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukannya dalam satu kitab masing - masing, melainkan hal itu merupakan ijma' atau kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll, inipun tak pernah ada dalil perintah Rasul SAW untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para Tabi’in mulai menulis hadits Rasul SAW dan memberikan klasifikasi hukum hadits menurut para periwayatnya.Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah yang kesemuanya itu adalah untuk ibadah kepada Allah SWT.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas Sahabat,tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam Alqur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah, namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul SAW memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh Madzhab mengikutinya.
Dari semua itu tidak ada salahnya kita menjalankan sesuatu walawpun dari sebuah riwayat / hadist yang lemah, selagi itu tidak melenceng dari syahadat why not,,,, walwpun semua itu diserahkan pada diri masing2 muslim,, puasa sya'ban juga merupakan starter agar kita lebih bersih dan siap dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, mungkin hanya inilah yg bisa penulis sampaikan..
s'moga Allah Swt senantiasa memberi petunjuk kepada kita dan anak-anak keturunan kita. Amiin......
Wallahualam bissawab
Bâraka Allâhu fikum, Aamiin
Matur nuhun semoga bisa mmpertebal keimanan kita dan Semoga Bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar